Setelah beberapa nyanyian pujian sebagaimana biasanya di Ibadah Minggu, gembala gereja itu pelan-pelan bangkit berdiri, berjalan ke arah mimbar, dan sebelum ia menyampaikan khotbahnya, dengan singkat ia memperkenalkan seorang pendeta tamu yang datang pada ibadah sore itu. Dalam kata-kata perkenalannya, gembala itu menceritakan kepada jemaat bahwa pendeta tamu itu adalah teman masa kanak-kanaknya, dan ia ingin agar pendeta tamu itu dapat membagikan apa yang ia rasakan perlu untuk disampaikan pada kebaktian itu. Dengan perkataan itu, seorang pria berumur melangkah ke arah mimbar dan mulai berbicara.
“Seorang ayah, dan puteranya, dan seorang teman puteranya berlayar di pantai Pasifik,” ia memulai, “ketika badai yang sangat cepat menghalangi setiap upaya mereka untuk mendekati pantai. Ombaknya begitu tinggi, sehingga meskipun ayahnya seorang nelayan yang sudah berpengalaman, ia tidak dapat mempertahankan perahu itu dan mereka bertiga dihempaskan ke dalam samudera ketika perahu itu terbalik.”
Pengkhotbah tua itu ragu-ragu sejenak, mulai bertatapan dengan dua remaja yang, untuk pertama kalinya sejak ibadah itu dimulai, nampak agak tertarik dengan kisahnya. Pendeta tua itu melanjutkan kisahnya…
“Dengan menggenggam tali penolong, sang ayah harus mengambil keputusan yang sangat penting dalam kehidupannya: ke arah anak laki-laki yang mana ia harus melontarkan ujung tali itu? Ia hanya memiliki beberapa detik untuk mengambil keputusan itu. Sang ayah mengetahui bahwa puteranya adalah seorang Kristen dan ia juga mengetahua bahwa teman puteranya bukanlah orang percaya. Kegalauannya dalam mengambil keputusan tak dapat diimbangi dengan arus gelombang itu. Ketika sang ayah berteriak, “Ayah sayang kepadamu, Nak!”, ia melemparkan tali kehidupan itu ke arah teman puteranya. Sementara ayahnya menarik teman puteranya ke arah perahu yang telah terbalik, puteranya telah lenyap ditelan gelombang yang dahsyat dalam gelap gulitanya malam. Jenazah puteranya tak pernah dapat ditemukan lagi,” kata pengkhotbah tua itu dengan sedih.
Pada saat itu juga, kedua remaja yang sedang duduk di bangku gereja, dengan gelisah menunggu kata-kata berikut yang keluar dari mulut pendeta tua itu.
“Sang ayah,” ia melanjutkan, “mengetahui bahwa puteranya akan melangkah ke dalam kekekalan bersama Tuhan Yesus dan ia tak dapat membayangkan teman puteranya memasuki kekekalan tanpa Tuhan Yesus. Oleh karena itu, ia mengorbankan puteranya untuk menyelamatkan teman puteranya. Betapa besar kasih Allah sehingga Ia harus melakukan hal yang sama bagi kita! Papa Sorgawi kita mengorbankan Anak-Nya yang tunggal agar kita dapat diselamatkan. Saya mendesak kalian untuk menerima tawaran-Nya untuk menyelamatkan kalian dan menerima tali penyelamat yang Ia lemparkan kepada kalian di dalam kebaktian ini.”
Dengan perkataan terakhir itu sang Pendeta tua berbalik dan duduk kembali di kursinya sementara keheningan memenuhi ruangan ibadah itu. Gembala gereja itu kembali berjalan pelan-pelan ke arah mimbar dan menyampaikan khotbah yang sangat singkat dengan undangan untuk menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi pada akhir khotbahnya. Meskipun demikian, tak ada tanggapan atas tawarannya. Tetapi, dalam beberapa saat setelah kebaktian usai, kedua anak remaja itu sudah ada di sebelah Pendeta tua itu.
“Kisah yang Bapak sampaikan tadi benar-benar menarik,” kata salah seorang anak laki-laki itu dengan sopan, “tetapi bagi saya tak masuk akal seorang ayah harus menyerahkan puteranya yang tunggal dengan harapan bahwa orang lain akan menjadi orang Kristen.”
“Nah, kamu mengerti suatu hal,” jawab orang tua itu, melirik Alkitabnya yang usang. Pada saat senyum lebar menghiasi wajahnya yang kecil, ia memandang kembali ke arah dua anak remaja itu dan berkata, “Memang hal itu tidak masuk akal, bukan? Tetapi, saya di sini hari ini menceritakan kisah ini kepada kalian mengibaratkan bagaimana rasanya Bapa menyerahkan Putera-Nya yang tunggal bagi saya. Ketahuilah, … akulah sang ayah dalam kisah itu, dan gembalamu itu adalah teman puteraku.” (Diterjemahkan oleh Hadi Kristadi untuk http://pentas-kesaksian.blogspot.com)
Baca Selengkapnya!
Minggu, 24 Agustus 2008
Khotbah: Keterbukaan dan Rasa Hormat
Bacaan: Efesus 5: 20:21
Apa hubungan merendahkan diri dengan rasa hormat? Dengan merendahkan diri (atau dalam bahasa yang lebih tepat biasa disebut rendah hati) berarti kita menempatkan orang lain lebih tinggi dari kita. Dan itu juga berarti kita menaruh hormat pada mereka. Menghormati tidak mungkin melakukannya dengan tidak jujur kepada orang lain. Dengan kata lain untuk menghormati kita harus jujur dan bersikap terbuka pada orang lain.
Secara khusus saling terbuka dan menghormati ini sangat perlu untuk diterapkan dalam hubungan suami-istri. Konflik dalam keluarga, khususnya antara suami dan istri sangat mungkin terjadi. Pada saat itulah kita perlu menempatkan keterbukaan dan rasa hormat tersebut yang dilandaskan rasa saling merendahkan diri berdasarkan takut akan Kristus, seperti yang ditulis dalam Efesus 5: 20-21 di atas.
Bagi pihak yang salah, meminta maaf dari hati nurani yang murni menunjukkan bahwa kita sudah menyadari bahwa hubungan kita dengan pasangan harus selalu berlangsung secara terbuka. Meminta maaf tidak bisa dengan mengatakan: “Ya sudah, saya minta maaf dari pada kamu ribut terus.” Atau ada juga yang meminta maaf hanya kalau kesalahannya ketahuan, kalau tidak ketahuan maka dia tidak perlu mengaku. Ini juga berarti tidak terbuka dan tidak menaruh rasa hormat.
Bagi pihak yang dimintai maaf, pengampunan juga harus disertai dengan hati nurani yang murni dan penuh keterbukaan. Bukan dengan memaafkan karena tidak mau ribut atau tidak mau mengakui bahwa dia juga pernah melakukan kesalahan yang sama.
Hati nurani yang murni dan penuh keterbukaan ini akan mendatangkan kesatuan suami-istri yang kokoh dalam keluarga (Yak 3:16). Untuk memperkokoh kesatuan suami-istri, masing-masing individu harus menerapkan “rasa hormat” sebagai dasar hubungan dengan pasangan.
Banyak orang mengatakan bahwa laki-laki perlu dihormati, sedangkan perempuan perlu disayangi. Itu benar tapi tidak lengkap. Perempuan juga perlu dihormati! Hal ini tertulis dalam 1 Petrus 3:5. Dasar untuk menghormati perempuan (istri) adalah karena perempuan adalah pewaris kasih. Karena itu penghormatan terhadap istri harus dilakukan dengan menyadari bahwa suami membutuhkan kasih.
Bagi istri, rasa hormat pada suami dapat ditunjukkan dengan tunduk pada suami dalam segala hal. Satu-satunya alasan istri tidak tunduk pada suami adalah apabila si suami mengajaknya melakukan perbuatan dosa.
Firman Tuhan mengibaratkan hubungan suami-istri itu seperti hubungan Kristus-Jemaat. Jemaat harus tunduk sepenuhnya kepada Yesus sebagai Kepala Gereja. Tapi Kristus juga rela berkorban di kayu salib untuk menyelamatkan jemaatnya.
Sekarang ini banyak suami yang mengaku menghormati istrinya, tapi menempatkan “rasa hormat” tersebut pada tingkatan yang lebih rendah dibandingkan atasan di kantor, kesibukan, bahkan hobby. Namun ada pula sebaliknya para istri yang menjadi wanita karier tidak menghargai suaminya hanya karena penghasilan si istri lebih besar dari suaminya. Mereka tidak terbuka dan tidak menaruh rasa hormat pada pasangannya.
Rasa hormat itu harus dibina dan ditumbuhkan, tidak sekonyong-konyong timbul. Hal ini bisa dimulai dari melakukannya pada kehidupan sehari-hari, dari hal-hal yang kecil. Pernah ada kisah yang diilustrasikan sebagai berikut:
1. Suami pulang terlambat – minta dibikinkan teh – istri ngomel dan tidak mau bikin the – suami marah lalu pergi ke restoran – ketemu dengan wanita penggoda – mulai selingkuh – akhirnya bercerai.
2. Suami pulang terlambat – minta dibuatkan the – istri membuat teh – suami merasa nyaman dan curhat pada istrinya – istri memberi pijatan – suami senang dan besoknya membelikan hadiah buat istrinya – keluarga bahagia.
Bisa dilihat dari ilustrasi tersebut bahwa secangkir teh bisa saja mengakibatkan perbedaan yang begitu besar. Dan masalahnya adalah pada ilustrasi pertama tidak ada rasa hormat!
Alkitab adalah sumber pengetahuan, pandangan, dan kepercayaan. Karena itu kita harus mengandalkan Alkitab untuk mengetahui keterbukaan dan rasa hormat seperti apa yang harus kita perbuat. Keterbukaan yang didasarkan Alkitab akan memberikan kesempatan kepada Firman Tuhan yang hidup untuk mengubah situasi dan memperbaharui kehidupan keluarga. Kita yakin bahwa Tuhanlah yang mengubahkan pembentukan sikap kita dalam kehidupan berkeluarga.
Ada contoh seorang suami yang sudah lebih dari 10 tahun merawat istrinya yang lumpuh. Banyak orang, termasuk anak-anaknya sendiri meminta agar dia menikah lagi saja. Bahkan anaknya bersedia menggantikannya untuk mengasuh istrinya. Tapi apa katanya? Saya tidak mungkin meninggalkan wanita yang telah menjadi istri saya walaupun dia sehat, apalagi kalau dia sakit!!
Kalau suami tersebut mengandalkan omongan orang, mungkin dia sudah menikah lagi, tapi karena dia mengandalkan Alkitab yang merupakan Firman Tuhan yang hidup maka kita tau dia tidak akan melakukan itu.
Untuk menumbuhkan rasa hormat dalam hubungan suami-istri, hal-hal berikut harus diperhatikan:
Tuhan memberkati.
Baca Selengkapnya!
Apa hubungan merendahkan diri dengan rasa hormat? Dengan merendahkan diri (atau dalam bahasa yang lebih tepat biasa disebut rendah hati) berarti kita menempatkan orang lain lebih tinggi dari kita. Dan itu juga berarti kita menaruh hormat pada mereka. Menghormati tidak mungkin melakukannya dengan tidak jujur kepada orang lain. Dengan kata lain untuk menghormati kita harus jujur dan bersikap terbuka pada orang lain.
Secara khusus saling terbuka dan menghormati ini sangat perlu untuk diterapkan dalam hubungan suami-istri. Konflik dalam keluarga, khususnya antara suami dan istri sangat mungkin terjadi. Pada saat itulah kita perlu menempatkan keterbukaan dan rasa hormat tersebut yang dilandaskan rasa saling merendahkan diri berdasarkan takut akan Kristus, seperti yang ditulis dalam Efesus 5: 20-21 di atas.
Bagi pihak yang salah, meminta maaf dari hati nurani yang murni menunjukkan bahwa kita sudah menyadari bahwa hubungan kita dengan pasangan harus selalu berlangsung secara terbuka. Meminta maaf tidak bisa dengan mengatakan: “Ya sudah, saya minta maaf dari pada kamu ribut terus.” Atau ada juga yang meminta maaf hanya kalau kesalahannya ketahuan, kalau tidak ketahuan maka dia tidak perlu mengaku. Ini juga berarti tidak terbuka dan tidak menaruh rasa hormat.
Bagi pihak yang dimintai maaf, pengampunan juga harus disertai dengan hati nurani yang murni dan penuh keterbukaan. Bukan dengan memaafkan karena tidak mau ribut atau tidak mau mengakui bahwa dia juga pernah melakukan kesalahan yang sama.
Hati nurani yang murni dan penuh keterbukaan ini akan mendatangkan kesatuan suami-istri yang kokoh dalam keluarga (Yak 3:16). Untuk memperkokoh kesatuan suami-istri, masing-masing individu harus menerapkan “rasa hormat” sebagai dasar hubungan dengan pasangan.
Banyak orang mengatakan bahwa laki-laki perlu dihormati, sedangkan perempuan perlu disayangi. Itu benar tapi tidak lengkap. Perempuan juga perlu dihormati! Hal ini tertulis dalam 1 Petrus 3:5. Dasar untuk menghormati perempuan (istri) adalah karena perempuan adalah pewaris kasih. Karena itu penghormatan terhadap istri harus dilakukan dengan menyadari bahwa suami membutuhkan kasih.
Bagi istri, rasa hormat pada suami dapat ditunjukkan dengan tunduk pada suami dalam segala hal. Satu-satunya alasan istri tidak tunduk pada suami adalah apabila si suami mengajaknya melakukan perbuatan dosa.
Firman Tuhan mengibaratkan hubungan suami-istri itu seperti hubungan Kristus-Jemaat. Jemaat harus tunduk sepenuhnya kepada Yesus sebagai Kepala Gereja. Tapi Kristus juga rela berkorban di kayu salib untuk menyelamatkan jemaatnya.
Sekarang ini banyak suami yang mengaku menghormati istrinya, tapi menempatkan “rasa hormat” tersebut pada tingkatan yang lebih rendah dibandingkan atasan di kantor, kesibukan, bahkan hobby. Namun ada pula sebaliknya para istri yang menjadi wanita karier tidak menghargai suaminya hanya karena penghasilan si istri lebih besar dari suaminya. Mereka tidak terbuka dan tidak menaruh rasa hormat pada pasangannya.
Rasa hormat itu harus dibina dan ditumbuhkan, tidak sekonyong-konyong timbul. Hal ini bisa dimulai dari melakukannya pada kehidupan sehari-hari, dari hal-hal yang kecil. Pernah ada kisah yang diilustrasikan sebagai berikut:
1. Suami pulang terlambat – minta dibikinkan teh – istri ngomel dan tidak mau bikin the – suami marah lalu pergi ke restoran – ketemu dengan wanita penggoda – mulai selingkuh – akhirnya bercerai.
2. Suami pulang terlambat – minta dibuatkan the – istri membuat teh – suami merasa nyaman dan curhat pada istrinya – istri memberi pijatan – suami senang dan besoknya membelikan hadiah buat istrinya – keluarga bahagia.
Bisa dilihat dari ilustrasi tersebut bahwa secangkir teh bisa saja mengakibatkan perbedaan yang begitu besar. Dan masalahnya adalah pada ilustrasi pertama tidak ada rasa hormat!
Alkitab adalah sumber pengetahuan, pandangan, dan kepercayaan. Karena itu kita harus mengandalkan Alkitab untuk mengetahui keterbukaan dan rasa hormat seperti apa yang harus kita perbuat. Keterbukaan yang didasarkan Alkitab akan memberikan kesempatan kepada Firman Tuhan yang hidup untuk mengubah situasi dan memperbaharui kehidupan keluarga. Kita yakin bahwa Tuhanlah yang mengubahkan pembentukan sikap kita dalam kehidupan berkeluarga.
Ada contoh seorang suami yang sudah lebih dari 10 tahun merawat istrinya yang lumpuh. Banyak orang, termasuk anak-anaknya sendiri meminta agar dia menikah lagi saja. Bahkan anaknya bersedia menggantikannya untuk mengasuh istrinya. Tapi apa katanya? Saya tidak mungkin meninggalkan wanita yang telah menjadi istri saya walaupun dia sehat, apalagi kalau dia sakit!!
Kalau suami tersebut mengandalkan omongan orang, mungkin dia sudah menikah lagi, tapi karena dia mengandalkan Alkitab yang merupakan Firman Tuhan yang hidup maka kita tau dia tidak akan melakukan itu.
Untuk menumbuhkan rasa hormat dalam hubungan suami-istri, hal-hal berikut harus diperhatikan:
- Masing-masing suami dan istri harus mengetahui hak dan kewajibannya seperti yang dituliskan dalam Firman Tuhan (1 Petrus 3: 5,7).
- Andalkan Alkitab dalam sebagai sumber segala pengetahuan.
Tuhan memberkati.
Baca Selengkapnya!
Label:
hormat,
keluarga,
Khotbah,
suami-istri,
terbuka
Minggu, 27 Juli 2008
Open Doors
Belum lama ini wakil dari Open Doors datang dan mengisi ibadah di gereja kami. Selain ibadah diadakan juga seminar (walaupun saya tidak sempat hadir). Awalnya sempat juga menilai bahwa mereka ini adalah kelompok misionaris biasa, nggak ada bedanya dengan beberapa kelompok lain yang mencoba menyebarkan injil ke seluruh dunia. Tapi waktu melihat materi presentasinya barulah tahu kalau Open Doors mengkhususkan diri untuk membantu orang-orang yang teraniaya karena percaya pada Yesus. Teraniaya disini bukan seperti yang kita bayangkan, mereka benar-benar teraniaya secara jiwa dan fisik sampai melebihi berbagai macam aniaya yang pernah kita bayangkan.
Mungkin disini kalau tidak diijinkan membangun gereja saja kita sudah merasa teraniaya. Kalau tidak boleh mengadakan KKR merasa teraniaya. Kalau tidak bisa naik pangkat karena agama Kristen kita merasa teraniaya. Memang itu juga salah satu bentuk penganiayaan terhadap orang percaya. Tapi yang menjadi perhatian Open Doors bukanlah aniaya yang sejenis itu. Contoh orang teraniaya yang diberikan adalah beratus orang yang dikurung dalam kontainer kecil di bawah tanah selama bertahun-tahun, tanpa ada cahaya dan hanya ada lubang udara secukupnya. Orang-orang yang sedang menunggu hukuman mati. Orang-orang yang keluarganya mati dibunuh secara sadis. Dan semua penderitaan itu mereka alami karena mereka setia kepada Yesus.
Open Doors mencoba datang kepada mereka, menempuh berbagai macam rintangan, hambatan, bahkan bahaya yang mengancam nyawa. Yang harus mereka hadapi bukan hanya orang-orang yang tidak percaya Yesus, melainkan satu negara atau pemerintahan yang secara sistematis berusaha menghapuskan kekristenan dari negara mereka. Terkadang tidak ada banyak yang bisa dilakukan karena tembok yang menghadang sudah sedemikian tinggi dan kokoh, tapi paling tidak saudara-saudara yang sedang dalam penderitaan tersebut bisa dikuatkan.
Di situs Open Doors International (http://sb.od.org/) saya menemukan visi mereka sebagai berikut:
Our Purpose:
To strengthen and equip the Body of Christ living under or facing restriction and persecution because of their faith in Jesus Christ, and to encourage their involvement in world evangelism by:
Yang ingin membantu atau terlibat dalam misi mereka dapat mengunjungi situs mereka. Paling tidak kita bantu dengan doa yang sungguh-sungguh agar Tuhan membantu perjuangan mereka dan agar orang-orang teraniaya tersebut dapat dikuatkan.
Baca Selengkapnya!
Mungkin disini kalau tidak diijinkan membangun gereja saja kita sudah merasa teraniaya. Kalau tidak boleh mengadakan KKR merasa teraniaya. Kalau tidak bisa naik pangkat karena agama Kristen kita merasa teraniaya. Memang itu juga salah satu bentuk penganiayaan terhadap orang percaya. Tapi yang menjadi perhatian Open Doors bukanlah aniaya yang sejenis itu. Contoh orang teraniaya yang diberikan adalah beratus orang yang dikurung dalam kontainer kecil di bawah tanah selama bertahun-tahun, tanpa ada cahaya dan hanya ada lubang udara secukupnya. Orang-orang yang sedang menunggu hukuman mati. Orang-orang yang keluarganya mati dibunuh secara sadis. Dan semua penderitaan itu mereka alami karena mereka setia kepada Yesus.
Open Doors mencoba datang kepada mereka, menempuh berbagai macam rintangan, hambatan, bahkan bahaya yang mengancam nyawa. Yang harus mereka hadapi bukan hanya orang-orang yang tidak percaya Yesus, melainkan satu negara atau pemerintahan yang secara sistematis berusaha menghapuskan kekristenan dari negara mereka. Terkadang tidak ada banyak yang bisa dilakukan karena tembok yang menghadang sudah sedemikian tinggi dan kokoh, tapi paling tidak saudara-saudara yang sedang dalam penderitaan tersebut bisa dikuatkan.
Di situs Open Doors International (http://sb.od.org/) saya menemukan visi mereka sebagai berikut:
Our Purpose:
To strengthen and equip the Body of Christ living under or facing restriction and persecution because of their faith in Jesus Christ, and to encourage their involvement in world evangelism by:
- Providing Bibles and literature, media, leadership training, socio-economic development and through intercessory prayer;
- Preparing the Body of Christ living in threatened or unstable areas to face persecution and suffering; and
- Educating and mobilizing the Body of Christ living in the free world to identify with threatened and persecuted Christians and be actively involved in assisting them.
Yang ingin membantu atau terlibat dalam misi mereka dapat mengunjungi situs mereka. Paling tidak kita bantu dengan doa yang sungguh-sungguh agar Tuhan membantu perjuangan mereka dan agar orang-orang teraniaya tersebut dapat dikuatkan.
Baca Selengkapnya!
Sabtu, 05 Juli 2008
Sehat itu Investasi
Sehat itu investasi, sifat kita menambah sesuatu yang baik dalam kehidupan kita. Karena seperti layaknya sebuah usaha maka penambahan investasi yang berguna dibutuhkan.
Cara makan yang baik dan benar, serta berolahraga yang teratur adalah penambahan investasi dalam hidup kita. Karena seperti didunia usaha, suatu penyusutan investasi selalu ada.
Contoh penyusutan kesehatan kita adalah: mau tidak mau, maka dengan bertambahnya usia kita, maka ada penyusutan tulang kita (bone mass density), menurunnya kinerja beberapa organ, bahkan menurunnya jumlah hormone estrogen kita, saat menopause.
Modal kesehatan yang sudah diberi Tuhan (Biocapital) akan habis perlahan-lahan, saat kita salah mengelola modal kita. Maka kita harus pintar-pintar untuk mengelolanya.
Rencana Tuhan adalah rancangan hidup yang penuh kedamaian, jadi kita harus samakan visi Tuhan, mari kita menambah pengetahuan kesehatan, agar kita bisa hidup lebih sehat dan tentunya nama Tuhan semakin dimuliakan.
Pengetahuan adalah untuk membedakan salah dan benar atau yang boleh dan yang tidak boleh. Disinilah biasanya iblis akan menjatuhkan umat yang percaya. Karena apa?
Karena kita kurang mengerti. Karena pengetahuan sangat penting (Hosea 4:6) dan hikmat dan pengertian datangnya dari Tuhan sendiri (Kitab Amsal).
Contoh; kita harus mulai belajar melihat kode kadaluarsa suatu barang yang akan dibeli atau di konsumsi, kandungan gulanya, kolesterolnya, supaya tidak jatuh sakit.
Karena itu, betapa pentingnya bimbingan Roh Kudus, disertai pengetahuan. Agar kita mengerti serta diberi pengendalian diri oleh Roh Kudus.
Baca Selengkapnya!
Cara makan yang baik dan benar, serta berolahraga yang teratur adalah penambahan investasi dalam hidup kita. Karena seperti didunia usaha, suatu penyusutan investasi selalu ada.
Contoh penyusutan kesehatan kita adalah: mau tidak mau, maka dengan bertambahnya usia kita, maka ada penyusutan tulang kita (bone mass density), menurunnya kinerja beberapa organ, bahkan menurunnya jumlah hormone estrogen kita, saat menopause.
Modal kesehatan yang sudah diberi Tuhan (Biocapital) akan habis perlahan-lahan, saat kita salah mengelola modal kita. Maka kita harus pintar-pintar untuk mengelolanya.
Rencana Tuhan adalah rancangan hidup yang penuh kedamaian, jadi kita harus samakan visi Tuhan, mari kita menambah pengetahuan kesehatan, agar kita bisa hidup lebih sehat dan tentunya nama Tuhan semakin dimuliakan.
Pengetahuan adalah untuk membedakan salah dan benar atau yang boleh dan yang tidak boleh. Disinilah biasanya iblis akan menjatuhkan umat yang percaya. Karena apa?
Karena kita kurang mengerti. Karena pengetahuan sangat penting (Hosea 4:6) dan hikmat dan pengertian datangnya dari Tuhan sendiri (Kitab Amsal).
Contoh; kita harus mulai belajar melihat kode kadaluarsa suatu barang yang akan dibeli atau di konsumsi, kandungan gulanya, kolesterolnya, supaya tidak jatuh sakit.
Karena itu, betapa pentingnya bimbingan Roh Kudus, disertai pengetahuan. Agar kita mengerti serta diberi pengendalian diri oleh Roh Kudus.
Baca Selengkapnya!
Jumat, 04 Juli 2008
Apakah Orang Kristen Boleh Membeli Asuransi
Asuransi selalu mengedepankan istilah: "proteksi" ataupun "perlindungan". Bagi orang percaya, Tuhan adalah satu-satunya perlindungan dalam hidup kita. Lalu bagaimana seharusnya kita menyikapi asuransi ini? Apakah sebagai orang percaya kita boleh membeli asuransi?
Setelah browsing di internet, saya mendapatkan beberapa artikel menarik mengenai hal ini. Disini saya kutip dan ubah satu artikel dari Larry Burket yang saya anggap paling menarik.
Apakah Asuransi Sesuai Dengan Ajaran Alkitab?
Oleh: Larry Burket
Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditemukan di Pengkotbah 6:3, “Jika orang memperoleh seratus anak dan hidup lama sampai mencapai umur panjang, tetapi ia tidak puas dengan kesenangan, bahkan tidak mendapat penguburan, kataku, anak gugur lebih baik daripada orang ini”
Salomo menyatakan prinsip pemikiran Alkitab yang sangat sederhana : Kita bertanggung jawab untuk menyediakan (to provide) atau mencukupi orang yang berada di rumah kita. Tanggung jawab tersebut tidak hanya sampai kita mati. Kita juga bertanggungjawab akan apa yang mereka. Asuransi adalah cara paling sederhana untuk menyediakan kebutuhan pada saat kita mati.
Kita tidak tahu kapan kita akan mati. Mungkin saja saat kita mati kita belum menyiapkan kekuatan ekonomi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga kita. Ini adalah alasan yang kuat untuk memiliki asuransi.
Asuransi bukanlah masalah baik atau buruk, bermoral atau tidak bermoral. Asuransi adalah perencanaan, dapat digunakan secara bijak sebagai asset keluarga, tetapi dapat juga digunakan secara sembrono sampai menghabiskan uang, merampas bagian Tuhan, atau bahkan menunjukkan kita tidak percaya pada Tuhan.
Ada seorang pilot yang mempunyai kesulitan keuangan. Setelah dipelajari ternyata setiap bulan dia harus membayar $600 untuk asuransi ketidakmampuan bila dia tidak mendapatkan ijin pilot lagi. Dengan nilai asuransi tersebut dia akan mendapatkan penghasilan dua kali lipat dari yang didapatnya sekarang bila suatu saat dia tidak bisa menjadi pilot lagi. Itu sama saja dengan mengatakan bahwa apabila dia tidak bisa menjadi pilot lagi maka dia akan berbaring di tempat tidur seumur hidup. Konyol bukan?
Mungkin saja kita membutuhkan masa transisi untuk dapat kembali bekerja, tapi setelah itu serahkan semuanya pada Tuhan. Dia dapat mengatur siapa saja, dan bisa saja Tuhan melakukannya dengan mengubah panggilan hidup anda: dari pilot menjadi pengusaha, dari dokter menjadi penyanyi, atau dari pejabat menjadi hamba Tuhan.
Intinya adalah, jangan pernah mencoba melindungi atau mengambil keuntungan dari asuransi. Gunakan asuransi hanya untuk “menyediakan”. Asuransi seringkali digunakan untuk melindungi dari keadaan yang tak terduga atau terkadang juga digunakan untuk mencari keuntungan. Jika anda memiliki terlalu banyak asuransi sehingga ketika anda mati maka keluarga anda akan hidup lebih baik, maka terus terang: anda lebih baik mati. (Ini bukan prinsip Alkitab)
Bagaimana Menentukan Kebutuhan Asuransi
Untuk menentukan kebutuhan asuransi, anda harus tahu berapa kebutuhan dasar keluarga anda perbulan. Lalu anggaplah anda ingin berinvestasi atau memulai suatu usaha. Kira-kira berapa modal yang anda butuhkan agar usaha itu dapat menghidupi keluarga anda. Besarnya modal tersebut ada nilai pertanggungan yang sebaiknya anda miliki.
Berapa banyak yang bisa kita tanggung?
Biasanya keluarga menengah masih mampu membelanjakan 5% dari pengeluaran untuk kebutuhan dasarnya. Nilai tersebut dapat digunakan untuk asuransi.
Jenis Asuransi Apa yang Seharusnya Kita Punyai?
Untuk menjaga asuransi tetap seimbang, seorang Kristen harus mempertimbangkan dua prinsip dari Firman Tuhan. Yang pertama adalah Matius 6:31. Tuhan berkata, “ Sebab itu janganlah kamu kuatir dan berkata: Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami minum? Apakah yang akan kami pakai?”
Tuhan tidak ingin kita kuatir, tapi Dia ingin kita merencanakan. Jadi penyeimbangnya adalah Lukas 14:28, “Sebab siapakah diantara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu?” Seperti yang dibahas sebelumnya, asuransi adalah menyediakan, bukan melindungi atau mencari keuntungan.
Jika Tuhan telah menyediakan asset atau kemampuan untuk mengganti yang hilang, maka asuransi tidak dibutuhkan. Misalkan bila mobil anda rusak, sebenarnya anda masih mampu memperbaikinya sendiri tanpa bantuan asuransi. Berarti sebenarnya dalam hal ini anda tidak membutuhkan asuransi.
Jika anda memutuskan untuk membeli asuransi ketidakmampuan, sebaiknya hanya untuk mengantisipasi masa transisi saja.
Asuransi kesehatan yang sebaiknya dimiliki adalah asuransi kesehatan yang hanya menanggung “masalah” besar. Contoh, asuransi yang hanya membayar bila biaya pengobatan diatas Rp 10 juta. Ini berguna untuk mencegah pengeluaran lebih besar bila misalnya anda sakit parah atau harus tinggal lama di rumah sakit.
Percaya atau Bodoh?
Asuransi tidak berarti kurang percaya. Sebaliknya dengan tidak memiliki asuransi bukan berarti anda adalah orang percaya. Asuransi dapat berarti perencanaan yang bijak tapi bisa juga berarti hidup dalam ketakutan. Ini sangat tergantung pada sikap si pembeli asuransi.
Bila anda memang tidak mampu membeli asuransi, maka saat anda mengalami masalah keuangan, anda berhak untuk datang kepada Tuhan dan meminta pertolongan-Nya. Bila anda secara nyata mampu membeli asuransi, maka sebaiknya anda membelinya dan tidak “membebankan” masalah anda pada Tuhan.
Lalu bagaimana dengan cucu kita dan juga generasi selanjutnya. Apakah mereka akan mampu mencukupi keluarganya? Dalam hal ini yakinlah, bahwa rencana Tuhan masih bekerja: “Maka hendaklah sekarang ini kelebihan kamu mencukupkan kekurangan mereka, agar kelebihan mereka kemudian mencukupkan kekurangan kamu, supaya ada keseimbangan” (2 Korintus 8: 14)
Setelah browsing di internet, saya mendapatkan beberapa artikel menarik mengenai hal ini. Disini saya kutip dan ubah satu artikel dari Larry Burket yang saya anggap paling menarik.
Apakah Asuransi Sesuai Dengan Ajaran Alkitab?
Oleh: Larry Burket
Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditemukan di Pengkotbah 6:3, “Jika orang memperoleh seratus anak dan hidup lama sampai mencapai umur panjang, tetapi ia tidak puas dengan kesenangan, bahkan tidak mendapat penguburan, kataku, anak gugur lebih baik daripada orang ini”
Salomo menyatakan prinsip pemikiran Alkitab yang sangat sederhana : Kita bertanggung jawab untuk menyediakan (to provide) atau mencukupi orang yang berada di rumah kita. Tanggung jawab tersebut tidak hanya sampai kita mati. Kita juga bertanggungjawab akan apa yang mereka. Asuransi adalah cara paling sederhana untuk menyediakan kebutuhan pada saat kita mati.
Kita tidak tahu kapan kita akan mati. Mungkin saja saat kita mati kita belum menyiapkan kekuatan ekonomi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga kita. Ini adalah alasan yang kuat untuk memiliki asuransi.
Asuransi bukanlah masalah baik atau buruk, bermoral atau tidak bermoral. Asuransi adalah perencanaan, dapat digunakan secara bijak sebagai asset keluarga, tetapi dapat juga digunakan secara sembrono sampai menghabiskan uang, merampas bagian Tuhan, atau bahkan menunjukkan kita tidak percaya pada Tuhan.
Ada seorang pilot yang mempunyai kesulitan keuangan. Setelah dipelajari ternyata setiap bulan dia harus membayar $600 untuk asuransi ketidakmampuan bila dia tidak mendapatkan ijin pilot lagi. Dengan nilai asuransi tersebut dia akan mendapatkan penghasilan dua kali lipat dari yang didapatnya sekarang bila suatu saat dia tidak bisa menjadi pilot lagi. Itu sama saja dengan mengatakan bahwa apabila dia tidak bisa menjadi pilot lagi maka dia akan berbaring di tempat tidur seumur hidup. Konyol bukan?
Mungkin saja kita membutuhkan masa transisi untuk dapat kembali bekerja, tapi setelah itu serahkan semuanya pada Tuhan. Dia dapat mengatur siapa saja, dan bisa saja Tuhan melakukannya dengan mengubah panggilan hidup anda: dari pilot menjadi pengusaha, dari dokter menjadi penyanyi, atau dari pejabat menjadi hamba Tuhan.
Intinya adalah, jangan pernah mencoba melindungi atau mengambil keuntungan dari asuransi. Gunakan asuransi hanya untuk “menyediakan”. Asuransi seringkali digunakan untuk melindungi dari keadaan yang tak terduga atau terkadang juga digunakan untuk mencari keuntungan. Jika anda memiliki terlalu banyak asuransi sehingga ketika anda mati maka keluarga anda akan hidup lebih baik, maka terus terang: anda lebih baik mati. (Ini bukan prinsip Alkitab)
Bagaimana Menentukan Kebutuhan Asuransi
Untuk menentukan kebutuhan asuransi, anda harus tahu berapa kebutuhan dasar keluarga anda perbulan. Lalu anggaplah anda ingin berinvestasi atau memulai suatu usaha. Kira-kira berapa modal yang anda butuhkan agar usaha itu dapat menghidupi keluarga anda. Besarnya modal tersebut ada nilai pertanggungan yang sebaiknya anda miliki.
Berapa banyak yang bisa kita tanggung?
Biasanya keluarga menengah masih mampu membelanjakan 5% dari pengeluaran untuk kebutuhan dasarnya. Nilai tersebut dapat digunakan untuk asuransi.
Jenis Asuransi Apa yang Seharusnya Kita Punyai?
Untuk menjaga asuransi tetap seimbang, seorang Kristen harus mempertimbangkan dua prinsip dari Firman Tuhan. Yang pertama adalah Matius 6:31. Tuhan berkata, “ Sebab itu janganlah kamu kuatir dan berkata: Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami minum? Apakah yang akan kami pakai?”
Tuhan tidak ingin kita kuatir, tapi Dia ingin kita merencanakan. Jadi penyeimbangnya adalah Lukas 14:28, “Sebab siapakah diantara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu?” Seperti yang dibahas sebelumnya, asuransi adalah menyediakan, bukan melindungi atau mencari keuntungan.
Jika Tuhan telah menyediakan asset atau kemampuan untuk mengganti yang hilang, maka asuransi tidak dibutuhkan. Misalkan bila mobil anda rusak, sebenarnya anda masih mampu memperbaikinya sendiri tanpa bantuan asuransi. Berarti sebenarnya dalam hal ini anda tidak membutuhkan asuransi.
Jika anda memutuskan untuk membeli asuransi ketidakmampuan, sebaiknya hanya untuk mengantisipasi masa transisi saja.
Asuransi kesehatan yang sebaiknya dimiliki adalah asuransi kesehatan yang hanya menanggung “masalah” besar. Contoh, asuransi yang hanya membayar bila biaya pengobatan diatas Rp 10 juta. Ini berguna untuk mencegah pengeluaran lebih besar bila misalnya anda sakit parah atau harus tinggal lama di rumah sakit.
Percaya atau Bodoh?
Asuransi tidak berarti kurang percaya. Sebaliknya dengan tidak memiliki asuransi bukan berarti anda adalah orang percaya. Asuransi dapat berarti perencanaan yang bijak tapi bisa juga berarti hidup dalam ketakutan. Ini sangat tergantung pada sikap si pembeli asuransi.
Bila anda memang tidak mampu membeli asuransi, maka saat anda mengalami masalah keuangan, anda berhak untuk datang kepada Tuhan dan meminta pertolongan-Nya. Bila anda secara nyata mampu membeli asuransi, maka sebaiknya anda membelinya dan tidak “membebankan” masalah anda pada Tuhan.
Lalu bagaimana dengan cucu kita dan juga generasi selanjutnya. Apakah mereka akan mampu mencukupi keluarganya? Dalam hal ini yakinlah, bahwa rencana Tuhan masih bekerja: “Maka hendaklah sekarang ini kelebihan kamu mencukupkan kekurangan mereka, agar kelebihan mereka kemudian mencukupkan kekurangan kamu, supaya ada keseimbangan” (2 Korintus 8: 14)
- Diterjemahkan dari artikel "Is Insurance Scriptural?" dapat dilihat di http://www.new-life.net/insuranc.htm
- Sebagian tulisan ini telah dihapus, ditambah, dan dimodifikasi agar lebih mudah dimengerti dan sesuai dengan kondisi di Indonesia.
- Larry Burket adalah penemu “Christian Financial Concepts”.
Senin, 30 Juni 2008
Kesaksian: Andalkan Tuhan Dalam Setiap Pekerjaanmu
Setelah sekian lama bekerja, akhirnya saya berhasil mengumpulkan sedikit uang yang bisa digunakan sebagai uang muka menyicil rumah. Saat itu saya belum punya rumah dan masih tinggal di rumah kontrakan, jadi rumah yang mau dibeli ini adalah rumah pertama dan akan menjadi tempat tinggal kami sekeluarga. Setiap keluarga pastilah mempunyai impian untuk memiliki rumah sendiri.
Singkat cerita tanda jadi dibayarkan, kredit disetujui, lalu semua urusan administrasi di bank sudah beres, dan dalam waktu dekat tinggal membayar uang muka untuk memulai cicilan.
Beberapa hari sebelum pembayaran uang muka, datang kabar dari kantor: karena alasan efisiensi, 3 bulan lagi kontrak kerja saya habis dan tidak akan diperpanjang! Sungguh berita mengagetkan ini hampir menghentikan niat saya untuk membeli rumah. Bagaimana mau membayar cicilannya kalau sampai saya nggak kerja lagi? Tapi saya pikir-pikir lagi, ah... nekat saja. Masak sih nggak bisa nyari kerja? Kan masih ada 3 bulan untuk mencari. Lagian saya ini lulusan universitas terkemuka di Indonesia dan sudah banyak pengalaman. Lalu saya memutuskan untuk membayar uang muka rumah tersebut dan mulai mencicil.
Mulai saat itu saya menghubungi banyak teman-teman untuk menanyakan informasi lowongan kerja. Banyak diantara teman2 tersebut yang memberi sinyal positif: terusin aja di tempatmu sekarang, kalau kontrak udah habis baru hubungi saya. Beberapa perusahaan yang dilamar pun memberi tanggapan yang baik, walaupun belum positif. Wah ... aman nih!
Akhir kontrak kerja sudah semakin dekat, saya mulai menghubungi lagi orang-orang yang menjanjikan kerja tersebut. Satu persatu dihubungi, tapi diluar dugaan semuanya memberikan respon yang hampir sama: kayaknya belum bisa bergabung sekarang, belum ada lowongan, nanti kami hubungi lagi, dll. Astaga! Apa yang terjadi? Kontrak kerja udah mau habis, saya belum punya kepastian mau kerja dimana?
Akhirnya saya menganggur juga. Minggu pertama belum ada kabar, biarin aja, saya mau istirahat dulu. Minggu kedua masih belum ada, wah mulai bahaya ini. Minggu ketiga saya mulai ketakutan, bagaimana nanti saya membayar cicilan rumah saya? Di minggu keempat saya mulai merasa stress berat, jangan-jangan nanti saya terpaksa menjual lagi rumah impian saya. Lalu kami mau tinggal dimana? Saya mulai suka duduk sendiri dan terkadang mengurung diri di kamar.
Suatu hari di minggu itu juga, istri saya mau ngajak anak2 jalan ke mall. Karena udah terlanjur stress, saya malas ikut. Saya memilih di rumah saja padahal nggak juga ada kerjaan. Iseng-iseng saya baca Alkitab, buka aja sekenanya terus dibaca. Kalau nggak menarik buka lagi halaman yang lain, begitu seterusnya. Saat itu saya nggak menemukan ayat-ayat yang spesial, tapi entah kenapa semakin lama saya dapat dorongan untuk berdoa. Iya benar, saya baru sadar kalau sampai saat itu saya belum pernah khusus berdoa menyerahkan pergumulan saya kepada Tuhan. Kok saya bisa lupa ya? Lalu saya mulai berdoa. Awalnya mulai dengan doa yang biasa, tapi lama kelamaan rasanya saya seperti seorang anak yang mengadu pada bapaknya. Sampai akhirnya dari mulut saya sendiri muncul kalimat: Tuhan selama ini saya terlalu terlalu yakin akan kekuatan sendiri, saya terlalu yakin teman-teman dan perusahaan-perusahaan itu akan memberikan saya penghidupan. Saya tidak pernah meminta kepada-Mu, berserah kepada-Mu, apalagi mengandalkan Engkau. Ampuni saya Tuhan! Saya tutup doa saya dengan Amin, dan tiba-tiba saya merasa lega dan yakin, jalan pasti ada. Waktu istri dan anak-anak pulang, saya sudah bisa senyum menyambut mereka.
Keesokan paginya, ya kurang dari 24 jam setelah saya berdoa, tiba-tiba datang telepon dari seorang warga negara Singapore. Dia mendapatkan CV dan no telepon saya dari seorang Australia yang saya kenal di bandara kurang lebih setahun lalu. Dia menawarkan pekerjaan dengan gaji dan posisi yang sesuai dengan keinginan saya (walaupun pada saat itu saya masih berpura-pura meminta gaji lebih). Lalu beberapa hari kemudian saya diinterview dan diterima bekerja disana, dengan gaji sesuai dengan yang saya minta. Puji Tuhan! Saya bekerja di perusahaan tersebut selama 2.5 tahun, lalu pindah ke perusahaan tempat saya bekerja sekarang. Soal cicilan rumah, sekali lagi puji Tuhan, sampai saat ini bukan lagi menjadi masalah.
Sangat disayangkan apabila kita harus melalui masa sulit dulu sebelum sadar bahwa Tuhan selalu ada dan siap mengatasi segala permasalahan kita. Kita tetap harus berusaha untuk menyelesaikan masalah kita, tapi bila tidak mengandalkan Tuhan maka apapun yang kita lakukan akan sia-sia. Sebaliknya bila mengandalkan Tuhan, apapun usaha kita akan dibuat-Nya berhasil. Halelluya!
Baca Selengkapnya!
Singkat cerita tanda jadi dibayarkan, kredit disetujui, lalu semua urusan administrasi di bank sudah beres, dan dalam waktu dekat tinggal membayar uang muka untuk memulai cicilan.
Beberapa hari sebelum pembayaran uang muka, datang kabar dari kantor: karena alasan efisiensi, 3 bulan lagi kontrak kerja saya habis dan tidak akan diperpanjang! Sungguh berita mengagetkan ini hampir menghentikan niat saya untuk membeli rumah. Bagaimana mau membayar cicilannya kalau sampai saya nggak kerja lagi? Tapi saya pikir-pikir lagi, ah... nekat saja. Masak sih nggak bisa nyari kerja? Kan masih ada 3 bulan untuk mencari. Lagian saya ini lulusan universitas terkemuka di Indonesia dan sudah banyak pengalaman. Lalu saya memutuskan untuk membayar uang muka rumah tersebut dan mulai mencicil.
Mulai saat itu saya menghubungi banyak teman-teman untuk menanyakan informasi lowongan kerja. Banyak diantara teman2 tersebut yang memberi sinyal positif: terusin aja di tempatmu sekarang, kalau kontrak udah habis baru hubungi saya. Beberapa perusahaan yang dilamar pun memberi tanggapan yang baik, walaupun belum positif. Wah ... aman nih!
Akhir kontrak kerja sudah semakin dekat, saya mulai menghubungi lagi orang-orang yang menjanjikan kerja tersebut. Satu persatu dihubungi, tapi diluar dugaan semuanya memberikan respon yang hampir sama: kayaknya belum bisa bergabung sekarang, belum ada lowongan, nanti kami hubungi lagi, dll. Astaga! Apa yang terjadi? Kontrak kerja udah mau habis, saya belum punya kepastian mau kerja dimana?
Akhirnya saya menganggur juga. Minggu pertama belum ada kabar, biarin aja, saya mau istirahat dulu. Minggu kedua masih belum ada, wah mulai bahaya ini. Minggu ketiga saya mulai ketakutan, bagaimana nanti saya membayar cicilan rumah saya? Di minggu keempat saya mulai merasa stress berat, jangan-jangan nanti saya terpaksa menjual lagi rumah impian saya. Lalu kami mau tinggal dimana? Saya mulai suka duduk sendiri dan terkadang mengurung diri di kamar.
Suatu hari di minggu itu juga, istri saya mau ngajak anak2 jalan ke mall. Karena udah terlanjur stress, saya malas ikut. Saya memilih di rumah saja padahal nggak juga ada kerjaan. Iseng-iseng saya baca Alkitab, buka aja sekenanya terus dibaca. Kalau nggak menarik buka lagi halaman yang lain, begitu seterusnya. Saat itu saya nggak menemukan ayat-ayat yang spesial, tapi entah kenapa semakin lama saya dapat dorongan untuk berdoa. Iya benar, saya baru sadar kalau sampai saat itu saya belum pernah khusus berdoa menyerahkan pergumulan saya kepada Tuhan. Kok saya bisa lupa ya? Lalu saya mulai berdoa. Awalnya mulai dengan doa yang biasa, tapi lama kelamaan rasanya saya seperti seorang anak yang mengadu pada bapaknya. Sampai akhirnya dari mulut saya sendiri muncul kalimat: Tuhan selama ini saya terlalu terlalu yakin akan kekuatan sendiri, saya terlalu yakin teman-teman dan perusahaan-perusahaan itu akan memberikan saya penghidupan. Saya tidak pernah meminta kepada-Mu, berserah kepada-Mu, apalagi mengandalkan Engkau. Ampuni saya Tuhan! Saya tutup doa saya dengan Amin, dan tiba-tiba saya merasa lega dan yakin, jalan pasti ada. Waktu istri dan anak-anak pulang, saya sudah bisa senyum menyambut mereka.
Keesokan paginya, ya kurang dari 24 jam setelah saya berdoa, tiba-tiba datang telepon dari seorang warga negara Singapore. Dia mendapatkan CV dan no telepon saya dari seorang Australia yang saya kenal di bandara kurang lebih setahun lalu. Dia menawarkan pekerjaan dengan gaji dan posisi yang sesuai dengan keinginan saya (walaupun pada saat itu saya masih berpura-pura meminta gaji lebih). Lalu beberapa hari kemudian saya diinterview dan diterima bekerja disana, dengan gaji sesuai dengan yang saya minta. Puji Tuhan! Saya bekerja di perusahaan tersebut selama 2.5 tahun, lalu pindah ke perusahaan tempat saya bekerja sekarang. Soal cicilan rumah, sekali lagi puji Tuhan, sampai saat ini bukan lagi menjadi masalah.
Sangat disayangkan apabila kita harus melalui masa sulit dulu sebelum sadar bahwa Tuhan selalu ada dan siap mengatasi segala permasalahan kita. Kita tetap harus berusaha untuk menyelesaikan masalah kita, tapi bila tidak mengandalkan Tuhan maka apapun yang kita lakukan akan sia-sia. Sebaliknya bila mengandalkan Tuhan, apapun usaha kita akan dibuat-Nya berhasil. Halelluya!
Baca Selengkapnya!
Label:
kesaksian,
mengandalkan Tuhan
Sabtu, 28 Juni 2008
Review Buku: The Success Journey
Judul Buku : The Success Journey (Perjalanan Menuju Sukses)
Pengarang : John C. Maxwell
Penerbit : Harvest Publication House
Penerbit Asli : Thomas Nelson, Inc.
Tema : Leadership, Pengembangan Diri
Rangkuman:
Gambaran tradisional mengenai kesuksesan adalah: kaya seperti Bill Gates, jenius seperti Albert Einstein, terkenal seperti Michael Jordan, punya hati seperti Ibu Theresa, dll. Definisi sukses yang ingin disampaikan oleh John C. Maxwell dalam buku ini adalah .... mengetahui tujuan hidup anda, bertumbuh untuk mencapai potensi maksimum anda, dan menebarkan benih yang menguntungkan orang lain.
Sukses tidak hanya dilihat dari hasil akhir, melainkan dari suatu perjalanan untuk mencapai tujuan akhir. Hidup memang harus mempunyai tujuan, tapi sukses itu adalah perjalanan yang harus kita tempuh dalam mencapai tujuan ... seumur hidup.
Pengalaman menuju tujuan akhir tersebut diibaratkan sebagai perjalanan panjang menuju ke suatu tempat. Mungkin kita bisa dengan mudah mencapai tempat tersebut, tapi tentu kita tidak ingin bila disepanjang perjalanan tersebut kita harus menghadapi bosan, sakit, kecelakaan, pertengkaran, dan hal-hal negatif lainnya. Karena kalau itu terjadi berarti perjalanan kita tidak sukses.
Baca Selengkapnya!
Pengarang : John C. Maxwell
Penerbit : Harvest Publication House
Penerbit Asli : Thomas Nelson, Inc.
Tema : Leadership, Pengembangan Diri
Rangkuman:
Gambaran tradisional mengenai kesuksesan adalah: kaya seperti Bill Gates, jenius seperti Albert Einstein, terkenal seperti Michael Jordan, punya hati seperti Ibu Theresa, dll. Definisi sukses yang ingin disampaikan oleh John C. Maxwell dalam buku ini adalah .... mengetahui tujuan hidup anda, bertumbuh untuk mencapai potensi maksimum anda, dan menebarkan benih yang menguntungkan orang lain.
Sukses tidak hanya dilihat dari hasil akhir, melainkan dari suatu perjalanan untuk mencapai tujuan akhir. Hidup memang harus mempunyai tujuan, tapi sukses itu adalah perjalanan yang harus kita tempuh dalam mencapai tujuan ... seumur hidup.
Pengalaman menuju tujuan akhir tersebut diibaratkan sebagai perjalanan panjang menuju ke suatu tempat. Mungkin kita bisa dengan mudah mencapai tempat tersebut, tapi tentu kita tidak ingin bila disepanjang perjalanan tersebut kita harus menghadapi bosan, sakit, kecelakaan, pertengkaran, dan hal-hal negatif lainnya. Karena kalau itu terjadi berarti perjalanan kita tidak sukses.
Baca Selengkapnya!
Label:
review buku,
sukses
Langganan:
Postingan (Atom)